Cak Nur,
Sumber Inspirasi Cendekiawan Muslim
NURCHOLISH MADJID, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26
Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh:
Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar
(sore); Pesantren Darul ‘Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu’allimin
al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif
Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago,
Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984). Aktif dalam gerakan kemahasiswaan.
Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT
(Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO
(International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.
Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu
pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship,
bersama isteri, 1990.
”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar membuat
anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain rela telanjang asal anaknya,
rebung, pakaiannya lengkap.” Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan
Nurcholish Madjid dalam berbagai kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa
pentingnya menunda kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri
dari kemewahan dan mementingkan pendidikan. Cak Nur tidak hanya berpesan,
tetapi menyatakannya dalam kehidupan.
Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi bagi
bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970,
ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, ia muncul dengan jargon ”Islam
Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok
tertentu, dan menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan gagasan
ini, menganggap Cak Nur mengembangkan sekularisme. Cak Nur dianggap sebagai
ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang
pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya,
terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan
ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang
mengakomodasi keberagaman /ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak
Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini
keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat
mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk
agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang
berbeda-beda, dan dalam hal ini Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam
beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam
menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa
yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna,
ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab
atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.
Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan
yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala
ataupun dosa akan menjadi benar-benar imbalan atas apa yang secara yakin ia
lakukan.
Cara berpikir dan muatan pemikiran Cak Nur seperti itu
terasa sangat kontroversial di telinga kebanyakan umat Islam. Karena dalam
Alquran maupun hadis tak sedikit pun menjelaskan ihwal sekularisasi. Tak pelak,
saat menggelar istilah tersebut pada 1970-an, Cak Nur mendapatkan banyak
bantahan dari intelektual Indonesia, termasuk di antaranya adalah HM Rasidji
dan Imaduddin Abdurrahim. Dari sinilah kita dibawa oleh Cak Nur ke pengembaraan
yang jauh dan masuk ke dalam rimba konfusi semantik danscientific dengan
idenya yang ia klaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam.
Setiap upaya mengenang tokoh besar sekaliber Cak Nur hampir
selalu diintip ancaman dua persoalan: menggelembungkannya menjadi begitu besar
sehingga yang terpotret bukanlah sosok historis melainkan mitologis; atau
memereteli dan memotretnya dari salah satu dimensi kecilnya sehingga sang tokoh
terbonsaikan. Keduanya mengidap persoalan yang kurang-lebih serupa: kegagalan
memahami sang tokoh dan memposisikannya dalam centang-perenang hidup kebangsaan
kita.
Cak Nur mengampanyekan rumusan rekonsiliasi semacam itu
sambil tetap mengingatkan betapa pentingnya “batas”. Masa lalu dan hari ini
mesti dijaga oleh batas yang tegas. Jika tidak, kita sebagai bangsa akan dengan
mudah terjerumus ke dalam lubang yang sama berkali-kali. Maka rumusan Cak Nur
tentang masa lampau kurang-lebih adalah jangan pernah lupakan, maafkan, dan
dirikan batas tegas.
Bagi sebagian orang, di tengah euforia reformasi masa itu,
anjuran Cak Nur boleh jadi terasa lunak. Tapi setelah reformasi berjalan lebih
dari tujuh tahun, terbukti bahwa rumusan itulah yang sejatinya paling layak
untuk demokratisasi Indonesia dengan segala konteksnya. Sayangnya, tujuh tahun
lebih kita alpa pada anjuran Cak Nur itu. Banyak kesempatan emas bagi
rekonsiliasi akhirnya lenyap tertelan waktu.
Pembaruan Islam ala Cak Nur
Gerakan pembaruan Nurcholish Madjid mulai muncul di publik
pada tahun 1970 dan 1972 dalam ceramahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan
Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”. Namun yang
terkenal sebagai tokohnya adalah Cak Nur sebab beliau secara tidak langsung
adalah Ketua Umum PB HMI yang berdomisili di Jakarta. Dalam tulisannya itu, Cak
Nur mengkritik pola pikir tokoh Islam yang cenderung ingin membawa semua
aspirasi umat Islam dalam politik dan mereka juga dengan seenaknya menyamakan
Islam dengan politik Islam. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan jargon “Islam
Yes, Partai Islam, No?” yang terkenal hingga sekarang ini. Cak Nur juga
menganjurkan tentang perlunya liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran
Islam. Untuk melakukan itu, ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat bisa dijadikan
alat bantu analisis. Pendirian negara Islam, menurut Cak Nur juga sebagai
bentuk apologia politik yang cenderung oportunis guna menutupi kekurangan dan
kelemahan umat Islam. Untuk mengatasi hal itu harus ditekankan semangat dan
praktik untuk mengembangkan kebebasan berpikir dan ide-ide yang bersifat
terbuka dan maju. Selain itu, kelompok pembaru yang “liberal” juga mesti segera
difasilitasi kelahirannya dan dikembangkan di semua tempat.
Hal yang sangat ditentang kaum revivalis atau
fundamentalisme Islam dari pembaharuan Cak Nur adalah tentang anjurannya untuk
melakukan sekularisasi kehidupan keagamaan dan politik umat Islam. Menurut Cak
Nur, sekularisasi bukan mesti westernisasi (Barat), tetapi sekularisasi adalah
pemisahan nilai ajaran inti agama yang bersifat profan dan yang sakral.
Sekularisasi adalah bentuk jalan keluar dari politisasi penafsiran agama
sebagaimana dilakukan oleh ulama terdahulu.
Oleh karena itu, yang wajib digalakkan oleh umat Islam
adalah nilai-nilai Islam yang bersifat substansial, jadi bukan sekadar
simbolisme keagamaan. Masalah jilbab, partai Islam, negara Islam, pendidikan Islam
yang banyak menekankan simbolisme, menurut Cak Nur mesti segera diakhiri. Cak
Nur juga menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya tunggal milik Islam, tetapi
juga milik agama-agama lain. Sebab pada dasarnya, semua agama mengajarkan jalan
kebenaran untuk meraih keselamatan. Cak Nur juga menafsirkan secara liberal
makna dari “Islam”, “agama”, “titik temu antaragama”, serta “Allah”. Hingga
sekarang, Cak Nur tampak konsisten dengan teologi inklusif serta ide
sekularisasinya.
Pembaruan Islam ala Cak Nur, secara historis muncul
bersamaan dengan menguatnya modernisasi atau pembangunan. Oleh karena itu,
banyak kritik yang menganggap bahwa gerakan itu sebagai bentuk rasionalisasi
dan legitimasi teologis terhadap pembangunan tersebut. Menurut mereka yang
kebanyakan menjadi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, pembaruan
tahun 70-an juga sangat elitis dan tidak menyentuh problem utama umat Islam.
Yang dipikirkan hanyalah bagaimana mengubah paradigam keagamaan, jadi
seakan-akan yang menyebabkan masyarakat miskin dan terbelakang hanyalah
persoalan ini.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat
setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika
Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat
perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya
adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara
Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada
di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam
yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam.
Sekularisasi Menurut Cak Nur
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme
tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis
(tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa
paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan
Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia
mengungkapkan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No?” yang ditanggapi dengan
polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an , sementara dalam waktu
yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang
mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan
ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran
untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
“Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme, sebab ‘sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan
dunia tertutup yang baru yang berfungsi sangat mirip dengan agama.’ Dalam hal
ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk ‘perkembangan yang membebaskan.’
Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan
sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya
Islamis itu, mana yang transendental dan mana yang temporal”. (Nurcholish
Madjid)
Di tengah kejumudan berpikir yang menimpa kalangan umat
Islam, Dr. Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, dalam pidatonya
pada 3 Januari 1970, menawarkan gagasan progresifnya: “Keharusan Pembaruan
Pemikiran Islam Dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan ini tak pelak menimbulkan
kontroversi yang berkepanjangan. Bahkan ada yang menganggap ide Cak Nur itu tak
lebih hanyalah sebagai bagian dari upaya penghancuran terhadap ajaran Islam
yang sudah mapan.
Realitas kejumudan di mana masyarakat masih lebur dalam
euforia romantisme masa lalu, yakni berkutat dengan nilai-nilai tradisional dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral, membuat Cak Nur semakin gelisah
sehingga ia memberanikan diri menerobos dinding kejumudan yang sedemikian kokoh
dipertahankan oleh umat Islam. Cak Nur menegaskan pentingnya proses pembebasan
di mana masyarakat harus digiring kepada nilai-nilai yang berorientasi masa
depan. Proses pembebasan ini, menurutnya, mengharuskan umat untuk mengadopsi
sekulariasasi, keterbukaan dan lain sebagainya.
Tanpa adanya upaya progresif semacam itu, umat Islam tidak
akan mampu meneropong masa depan yang gemilang. Upaya untuk mengembalikan masa
kejayaannya sebagaimana pada beberapa abad sebelumnya hanya akan menjadi utopia
belaka. Bagaimana mungkin peradaban akan dibangun jika pemikiran umat Islam
tidak menunjukkan sinyal pencerahan yang progresif dan dinamis. Kemudian pada
sisi yang lain umat menganggap ide pembaruan yang sangat universal itu sebagai
ancaman yang harus ditolak. Sehingga tidak heran kalau kemudian muncul
keyakinan ekslusif yang terkesan “dibuat-buat”: “Islam sudah tidak membutuhkan
pembaruan karena Islam sudah sarat dengan pembaruan itu sendiri.”
Di sinilah letak kesalahan paradigma atau pola pikir yang
sedang menghinggapi sebagian besar kalangan umat Islam hingga saat ini.
Realitas kejumudan tidak disadari sebagai suatu fenomena yang membahayakan masa
depan umat Islam sendiri, ibarat duri dalam daging: suatu saat pola pikir
semacam itu akan menghambat kemajuan dalam konteks apa pun. Karena itu, gagasan
yang diusung oleh Cak Nur pada dasarnya berangkat dari semangat Al- Qur’an
sebagai way of life, dengan interpretasi yang lebih menyegarkan. Bukan ide baru
yang tidak berpijak pada semangat qur’ani.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme,
sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which
funtion very much like a new religion. Demikianlah penegasan Cak Nur ketika
mendapatkan banyak kritikan mengenai pembaruan pemikirannya tentang pentingnya
sekularisasi.
Masih terngiang hingga saat ini suara-suara sumbang yang
tidak sepaham dengan jalan pikiran Cak Nur. Sekularisasi dianggap sebagai suatu
proses penerapan sekularisme. Padahal sekularisasi pada dasarnya berbeda
pengertiannya dengan sekularisme. Meminjam bahasanya Robert N. Bellah,
sekularisasi yang dimaksudkan adalah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai
yang memang temporal, namun oleh banyak orang cenderung dianggap transenden dan
disucikan.
Sedangkan sekularisme itu sendiri adalah paham keduniawian
yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi.
Paham tersebut mengatakan bahwa kehidupan duniawi adalah mutlak dan terakhir.
Mereka tidak percaya adanya hari kemudian, di mana Islam seringkali
menamakannya sebagai Hari Kebangkitan. Seorang sekularis menolak pemakaian
prinsip ketuhanan dalam menyelesaikan masalah-masalah duniawi manusia. Mereka
percaya sepenuhnya pada kekuatan rasio sebagai instrumen untuk menemukan
kebenaran terakhir (ultimate truth). Dengan demikian, menurut pemahaman Cak
Nur, bisa dikatakan bahwa seorang sekular yang konsekuen dan sempurna, adalah
orang atheis. Sebaliknya, seorang sekular yang tidak konsekuen, akan mengalami
kepribadian yang pecah (split personality).
Berangkat dari pemahaman di atas, maka tentu saja sekularisme
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab sekularisme membentuk filsafat
tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan
hampir seluruh agama yang ada di muka bumi ini, apalagi dengan Islam. Bahkan
Al-Qur’an sendiri menggambarkan orang-orang sekularis sebagai kelompok yang
kafir, mengingkari Tuhan beserta ketetapan-ketetapannya: “Mereka ( orang-orang
kafir itu) berkata: ‘Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja.
Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali
masa.’ Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu.
mereka hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24).
Demikianlah gambaran Al-Qur’an tentang orang-orang
sekularis. Akan tetapi kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ide Cak Nur tentang
sekularisasi adalah bagian dari upaya mewujudkan nilai-nilai sekularisme itu
sendiri. Sebab sekularisasi dalam perspektif Cak Nur pada dasarnya adalah suatu
proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian yang
lebih besar daripada sebelumnya terhadap kehidupan duniawi ini. Karena
bagaimana pun kita adalah makhluk sekular, makhluk yang masih hidup di dunia.
Harvei Cox – sebagaimana dikutip oleh Cak Nur – membedakan
pengertian antara sekularisasi dan sekularisme: “Bagaimana pun, sekularisasi
sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul
dalam samaran-samaran yang berbeda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan
politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus
dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah,
hampir pasti tak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan
dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis
yang tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi, pada dasarnya, adalah
perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu
ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip
sebagai agama baru.”
Dengan demikian, sudah jelas bahwa ide Cak Nur tentang
sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mendakwahkan tiadanya dzat yang bersifat
transendental. Akan tetapi upaya menduniawikan nilai-nilai yang sudah
semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
meng-ukhrawi-kannya.
Masalah sekularisasi dan sekularisme memang “hanya”
persoalan istilah. Akan tetapi Cak Nur paham betul ihwal makna serta implikasi
dari kedua istilah tersebut: sama perbedaannya antara rasionalis dan rasional;
antara rasionalisasi dan rasionalisme. Karena itu, ia tidak mau disebut dirinya
sebagai seorang sekularis yang berarti penganut sekularisme, atau rasionalis
yang berarti pemuja rasionalisme atau kemutlakan rasio.
Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu
memfungsikan potensi akal dalam menemukan kebenaran. Itu pun harus disadari,
bahwa kebenaran yang ditangkap oleh rasio bersifat relatif atau terbatas.
Keterbatasan rasio inilah yang dijelaskan oleh Allah dalam salah satu
firmannya: “Tidaklah kamu (manusia) diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio)
melainkan sedikit saja.”(Q.S. 17: 85).
Karena itu rasionalisme, sebagaimana juga sekularisme, harus
kita tolak. Karena bagaimana pun rasionalisme mengingkari keberadaan wahyu
(revelation) sebagai media untuk mengetahui kebenaran yang bersifat hakiki.
Tokoh berkelas
Menurut Dr. Yudi Latif (2006), upaya Cak Nur dalam
mengarahkan umat kepada nilai-nilai esensial Islam pada satu sisi karena
kemunculan Orde Baru yang telah meminggirkan politik Islam. Dan pada sisi yang
lain, kebenciannya terhadap ideologi komunisme mendorong rezim militer
mempromosikan pengajaran agama. Akibatnya, saat Islam politik mandul,
ketertarikan orang-orang terhadap Islam justru kian meningkat. Atas dasar itu
ia sampai pada kesimpulan: ‘Islam, yes; partai Islam, No!’.
Sebagai seorang intelektual atau cendikiawan muslim Cak Nur
berkali-kali melakukan pembelaan ketika Islam hanya dijadikan sebagai sarana
atau instrumen politik, di mana di dalamnya sarat dengan kepentingan kelompok.
Apalagi ada kecenderungan di antara parpol-parpol berlabel Islam seakan-akan
memonopoli kebenaran. Sehingga tidak heran kalau kemudian terjadi konflik
horisontal antarpendukung parpol atas nama kebenaran. Padahal konflik itu
terjadi tidak lain hanyalah karena menyangkut kepentingan yang sifatnya
politis, bukan ideologis apalagi teologis.
Karena itulah Cak Nur seringkali mempertanyakan idealisme
dari parpol-parpol Islam yang dinilainya sudah tidak punya “daya tarik” lagi.
Kehilangan dinamika. Dan kalau ini tetap dipertahankan, niscaya umat akan
mengalami kemunduran. Kenapa demikian? Karena partai-partai Islam, baik pada
tahun 1970-an atau bahkan sampai reformasi tegak, gagal membangun image positif
dan simpatik. Perpecahan atau disintegrasi di kalangan umat Islam sendiri,
misalnya, adalah contoh konkrit di mana partai-partai Islam tidak mampu
membangun semangat kesatuan dan persatuan. Ditambah lagi dengan kasus-kasus
penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian besar wakil-wakil dari
partai Islam di birokrasi pemerintahan yang sampai saat ini makin marak
terjadi.
Inilah sebuah paradoks keberagamaan yang lahir dari
idealisme utopis. Pada satu sisi umat diarahkan untuk bernaung di bawah payung
partai Islam, dan pada sisi yang lain mereka lupa meniupkan nilai-nilai
keislaman sebagai nafas perjuangan. Akibatnya, dari waktu ke waktu Islam di
Indonesia hanya berkembang secara kuantitas seiring dengan banyaknya
partai-partai Islam yang memosisikan diri sebagai “pengemban aspirasi” umat
Islam.
Melalui tulisannya, Cak Nur tak jarang mengingatkan untuk
tidak mengkultuskan seseorang. Semoga juga kekagumanku kepadanya tidak
terjerumus kepada pengkultusan yang sering ia wanti-wanti untuk dihindari itu.
Dan memang selayaknya kita menghargai Cak Nur karena nilai-nilai kemanusiaannya
yang begitu tinggi. Cak Nur hanya manusia biasa, penghargaan kepadanya tak
lebih karena ia telah memberikan kontribusi yang begitu besar kepada umat dan
bangsa ini. Sumbangsih positif dari pemikirannya juga sudah sepatutnya untuk
diapresiasi dengan baik. Terlepas dari itu, pemikirannya juga tak menutup
kemungkinan untuk dikritisi. Dan aku yakin, begitu pulalah yang diinginkan oleh
Cak Nur, bahwa generasi kini jangan hanya membeo kepada pemikiran yang telah ia
lontarkan.
Cak Nur telah mengukir sejarahnya yang indah dan menawan di
atas lontar kehidupan dengan tinta emas yang berkilauan. Generasi kini tentunya
harus melakukan pencapaian-pencapaian yang lebih dari itu. Bukan hanya sekedar
membeo, tapi melakukan apresiasi kreatif dan kritis terhadap khazanah
intelektual yang telah dipersembahkannya. Sehingga dari apresiasi tersebut akan
memunculkan inovasi terbaru yang lebih berarti untuk kehidupan umat dan bangsa
ini di masa kini dan akan datang. Jika Cak Nur adalah pendaki yang telah
mencapai puncaknya, maka kita tentunya tak ingin hanya menatap Cak Nur dari
kejauhan sembari mengelu-elukan kebesarannya. Lebih tragis lagi jika Cak Nur
kemudian diberhalakan, serta pemikirannya didewa-dewakan. Hingga kemudian
generasi penerusnya tak lebih hanyalah menjadi generasi yang tenggelam dalam
kejumudan.
sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/25/cak-nur-sumber-inspirasi-cendekiawan-muslim/