Rabu, 20 Februari 2013

berpikir kritis



Berpikir kritis adalah kemampuan memberi alasan secara terorganisasi dan mengevaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis. Ennis dalam Costa (1985), menyebutkan ada lima aspek berpikir kritis, yaitu;
a) memberi penjelasan dasar (klarifikasi),
b) membangun keterampilan dasar,
c) menyimpulkan,
d) memberi penjelasan lanjut, dan
e) mengatur strategi dan taktik.

Menurut R. Swartz dan D. N. Perkins, berpikir kritis berarti; 1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan diterima dan dilakukan dengan alasan yang logis, 2) memakai standar penilian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan, 3) menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut, dan 4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Sedangkan menurut R.H Ennis, berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan (Hassoubah, 2007: 87).

Berpikir kritis dipengaruhi beberapa faktor, seperti latar belakang kepribadian, kebudayaan, dan juga emosi seseorang. Berpikir kritis berarti melihat secara skeptisal terhadap apa yang telah dilakukan dalam kehidupan. Berpikir kritis juga berarti usaha untuk menghindarkan diri dari ide dan tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan.

Karena pesatnya perkembangan, ada sebagian orang yang sanggup mengikutinya, ada sebagian lain yang gagal. Bagi yang sanggup, perkembangan pesat dianggap sebagai peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memacu diri. Umumnya kelompok ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan hidup yang memadai. Bagi yang tidak sanggup, zaman ini dianggap sebagai petaka, karena tidak memberikan peluang kepadanya, bahkan menyingkirkannya. Umumnya, kelompok ini diisi orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup.

Selain itu, zaman ini pula disebut sebagai zaman kompetisi atau persaingan. Implikasinya orang lain dianggap sebagai kompetitor dalam meraih cita-cita. Teman akrab ada kalanya bisa menjadi pesaing beratnya. Karena masing-masing saling berkompetisi, wajar jika kemudian ada pihak yang menang dan ada pula yang kalah.

Dalam keadaan demikian, menjadi orang pintar saja belum cukup. Agar mampu menghadapi persaingan ke depan, dibutuhkan orang yang mampu berpikir kritis. Banyak orang mengatakan bahwa salah satu ciri orang pintar adalah mampu berpikir kritis. Pengertian berpikir kritis ialah berpikir dengan konsep yang matang dan mempertanyakan segala sesuatu yang dianggap tidak tepat dengan cara yang baik. Bertanya dengan baik akan memperoleh jawaban yang baik, setidaknya respons yang baik. Dia tidak bersikap apatis terhadap sesuatu yang tidak beres. Karena seringnya bertanya atas hal-hal yang tidak normal, bagi sebagian orang kritis disebut sebagai orang rewel (bahasa Jawa). Sikap kritis tidak sama dengan rewel. Jika sikap kritis menanyakan hal-hal yang tidak normal dan bermaksud memperbaikinya, maka rewel adalah asal bertanya dan ada unsur ‘mengganggu’.

Persoalannya, apakah berpikir kritis dapat dilatih? Menurut para ahli, melatih berpikir kritis dapat dilakukan dengan cara mempertanyakan apa yang dilihat dan didengar. Setelah itu, dilanjutkan dengan bertanya mengapa dan bagaimana tentang hal tersebut. Intinya, jangan langsung menerima mentah-mentah informasi yang masuk. Dari mana pun datangnya, informasi yang diperoleh harus dicerna dengan baik dan cermat sebelum akhirnya disimpulkan. Karena itu, berlatih berpikir kritis artinya juga berperilaku hati-hati dan tidak grusa-grusu dalam menyikapi permasalahan.

Pernahkan kita merasa tidak nyaman jika melihat sesuatu tidak berjalan dengan baik di sekolah, keluarga, atau lingkungan tempat kerja? Jika itu terjadi, ini kesempatan kita melatih berpikir kritis. Caranya, seperti diungkap di muka, dengan menanyakan bagaimana dan mengapa hal itu terjadi dengan diikuti suatu tindakan yang kreatif.

Membiasakan diri selalu memperbaiki diri -karena merasa masih memiliki banyak kekurangan- , disiplin, dan konsentrasi ketika mengerjakan sesuatu pekerjaan merupakan tanda seseorang memiliki pikiran kritis. Dan, inilah pintu menuju kesuksesan. Sebaliknya, jika seseorang telah merasa sudah pintar dan akhirnya malas belajar sehingga tidak mau memperbaiki diri, saat itu pula dia akan tertinggal jauh dari orang lain dan tertelan oleh perubahan zaman.

Ada pandangan lain untuk meningkatkan sikap kritis. Menurut penelitian para ahli neurolinguistik, cabang ilmu yang mengkaji bahasa dan fungsi saraf, otak manusia bisa dilatih fungsi-fungsinya, termasuk untuk melahirkan sikap kritis. Menurut mereka, otak manusia dibagi dua, yakni otak kiri yang memproduksi bahasa verbal, imitatif dan repetitif, dan otak kanan yang memperoduksi pikiran yang bersifat imajinatif, komprehensif, dan kontemplatif. Muncul dugaan bahwa orang-orang agung para pembuat sejarah besar adalah orang yang memiliki otak kanan yang aktif.


Selasa, 19 Februari 2013

Tips Belajar Efektif

TIPS BELAJAR EFEKTIF

Ada baiknya Anda membuat persiapan yang baik buat satu semester ke depan. Tak ubahnya para peserta diri yang dituntut mempersiapkan segala keperluan, seperti buku pelajaran, buku tulis atau baju seragam. Selain itu, ada beberapa hal penting yang perlu Anda perhatikan, Pertama, tentukan target Anda di semester ini apa. Kemudian buat jadwal harian yang isinya langkah-langkah menuju target tersebut. Supaya target belajar goal-nya lebih cepat, berikut ada beberapa tips bagaimana cara belajar yang efektif, yang telah teruji oleh beberapa negera maju. Tips ini bias Anda jalankan sendiri, atau ditularkan kepada peserta didik Anda.

1. Seorang teman dari Amerika memberi saran belajar yang dia dapat dari ayahnya. Hari pertama sekolah, ulang kembali pelajaran yang telah didapat. Setelah itu baca singkat dua halaman materi berikutnya buat cari kerangkanya saja. Begitu pelajaran tersebut diterangkan guru esoknya, Anda sudah punya gambaran atau dasarnya, tinggal menambahkan saja apa yang belum Anda tahu. Jadi begitu pulang sekolah, tinggal mengulang saja untuk mencari kesimpulan atau ringkasan.

2. Usahakan selalu konsentrasi penuh waktu mendengarkan pelajaran yang disampaikan guru atau totor. Materi yang Anda dengar bakal mudah dipanggil lagi begitu Anda menghapal ulang pelajaran tersebut.

3. Beberapa teman juga merekomendasikan untuk mengetik ulang catatan pelajaran ke dalam komputer. Logikanya, dengan mengetik ulang catatan berarti sama saja dengan membaca ulang pelajaran yang baru saja didapat dari sekolah. Materi yang diulang tadi bisa tersimpan di memori otak buat jangka waktu yang lama. Lebih bagus lagi kalo membacanya kembali atau mempelajari catatan tersebut setelah diketik.

4. Cara lain adalah dengan membaca ulang catatan pelajaran kemudian buat kesimpulan dengan kalimat sendiri. Supaya dapat terpatri lama di memori, tulis kesimpulan tadi di secarik kertas kecil seukuran kartu nama. Kartu-kartu tersebut efektif untuk mengulang dan membaca singkat kala senggang.

5. Teman lainnya menyarankan untuk selalu menggunakan buku catatan yang berbeda pada setiap mata pelajaran. Cara ini dinilai lebih teratur sehingga pada waktu ingin mengulang suatu pelajaran kita tidak perlu lagi harus membuka semua buku.

6. Mengulang pelajaran tidak selamanya harus dengan membaca atau menulis. Mengajari teman lain tentang materi yang baru diulang bisa membuatmu selalu ingat akan materi tersebut. Bagusnya lagi, Anda menjadi lebih paham akan materi tersebut.

7. Belajar mendadak menjelang tes memang tidak efektif. Paling tidak sebulan sebelum ulangan adalah masa ideal buat mengulang pelajaran. Materi yang banyak bukan masalah. Caranya: selalu buat ringkasan atau kesimpulan pada setiap pelajaran, kalau perlu pakai tabel atau gambar ilustrasi supaya mudah diingat.

8. Ada beberapa teman di Australia yang menyukai waktu belajar pada siang hari. Maklum, badan masih segar setelah tidur cukup di malam hari, jadi semangat masih tinggi. Kondisi yang bagus tersebut tidak mereka sia-siakan begitu saja. Pagi mereka konsentrasi penuh pada pelajaran di kelas dan siangnya konsentrasi untuk mengulang kembali. Malam hari hanya mereka gunakan untuk mengerjakan aktivitas ringan atau pekerjaan rumah. Jadi tidak pernah ada kata begadang.

9. Kalau badan capek, bakal susah buat konsentrasinya. Beberapa teman menyarankan untuk libur dulu dari acara olah raga atau kegiatan fisik lainnya sehari menjelang ulangan umum.

10. Belajar sambil mendengarkan musik memang asyik. Pilih music yang tenang tapi menggugah. Musik klasik macam Beethoven ato Mozart bisa dicoba. Musik tipe ini cocok banget buat menemani kamu selama mengerjakan tugas yang jawabannya sudah pasti, seperti matematika, ilmu alam atau bahasa asing. Dijamin stamina belajar Anda akan selalu berisi dan penuh semangat.

Memang bingung ya kalau semua orang saling memberi tahu apa yang harus dikerjakan. Paling penting adalah utamakan prioritas Anda. Karena biasanya kita menilai diri sendiri dari apa yang dirasakan, sedang orang lain hanya melihat dari apa yang telah kita hasilkan. Sementara apa yang bisa kita hasilkan hanya kita sendiri yang tahu. Jadi, buat target yang kamu percaya mampu meraihnya bukan apa yang dipikirkan orang lain. Begitu juga dengan cara belajar efektif, pilih cara baik mana yang paling pas dengan kondisi Anda. Selamat mencoba!

Senin, 11 Februari 2013

Tabungan Rasa Sukses

Tabungan Rasa Sukses
Metro Kolom | Selasa, 12 Februari 2013 WIB
Sekali-sekali coba mengamati suasana pendidikan Taman Kanak-Kanak. Salah satu permainan yang ada adalah berjalan di atas papan layaknya sebuah jembatan. Dari segi ukuran tinggi dan panjangnya, untuk orang tua sungguh hal yang sepele. Namun untuk anak usia dini, mampu berjalan melewati sebuah jembatan itu akan mendatangkan rasa lega, terlebih teman-teman memberi tepuk tangan. Muncul rasa sukses. "Aku bisa". "Aku hebat". Perasaan dan penghargaan positif terhadap diri sendiri ini sangat penting dirasakan dan ditanamkan sejak kecil, sehingga secara berangsur akan menjadi semacam tabungan rasa sukses. Bahwa hidup terkadang pahit dan gagal itu sudah biasa.Namun justru pengalaman belajar bangkit dari kegagalan itu sangat berharga bagi perkembangan pribadi seseorang, sehingga selalu bersikap optimis dan positif mengahadapi hidup dengan segala goncangannya. Jika seseorang memiliki kesadaran dan tabungan rasa sukses, entah besar atau kecil, pada urutannya akan lebih bisa menghargai makna hidup. Lebih mudah memberikan empati dan apresiasi pada prestasi orang lain, sebagaimana dia memberi apresiasi pada dirinya sendiri. Orang yang sadar terhadap sukses diri bukanlah sombong, melainkan bagian dari rasa syukur dan menjaga harga diri. Istilah harga diri ini perlu diberi catatan khusus, karena telah terjadi penyimpangan makna dan konsep. Ada orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan tertentu yang kemudian melakukan komersialisasi jabatannya dengan "tarif uang". Lalu orang yang berurusan dengan kantor itu pun akan bertanya-tanya, "Berapa harganya agar urusan saya beres?" Jadi, ada fenomena baru seseorang dihargai dengan sejumlah uang tertentu. Semakin tinggi jabatannya semakin besar harganya jika seseorang ingin berurusan dengannya. Inilah yang saya maksud dengan peyimpangan makna harga diri ( self esteem ). Bahwa harga diri seseorang itu berdasarkan integritasnya, bukan jabatan formal yang diselewengkan untuk mengejar materi.    Orang yang berulangkali berhasil mengatasi problem dan tantangan hidup dan kemudian secara sadar disyukuri dan dijadikan pelajaran, maka dirinya akan tampil penuh percaya diri dan tidak mudah menyerah ketika dihadapkan pada problem baru seberat apapun. Sikap demikian muncul karena dalam dirinya tersimpan berbagai pengalaman sukses. Oleh karena itu sangat penting rasa sukses dan percaya diri ditanamkan pada para siswa agar setelah dewasa hidupnya lebih mandiri dan menghargai prestasi. Bukan kemudian mengandalkan relasi orangtua, misalnya saja, ketika melamar kerja atau menyuap dengan uang untuk memenangkan persaingan. Terkait dengan pembangunan integritas, sungguh merusak generasi terjadinya praktik kecurangan dalam ujian nasional.Menyontek dan menyuap bukannya memperbanyak tabungan rasa sukses untuk menghadapi tantangan hidup, tetapi membentuk pribadi yang lemah dan korup karena krisis harga diri ( self dignity ) dan krisis percaya diri ( self condidence ). Dari pengamatan saya melalui media sosial, khususnya televisi dan twitter , masyarakat kita lebih mudah mencela, menghujat, mengkritik namun pelit untuk memberi apresiasi. Sulit menjadi pendengar yang baik.Berikut ini saya rasakan ketika beberapa kali mengadakan hearing dengan teman-teman DPR. Orang maunya berbicara, mengkritik, menggurui, tetapi enggan mendengarkan dan memberi apresiasi. Beberapa teman DPR kalau sudah berbicara lalu pergi. Mungkin saja sibuk dengan tugas negara yang lain.Di lembaga sekolah Madania, Komplek Kahuripan, Parung, kami melakukan pendekatan individual terhadap semua siswa, dari tingkat SD sampai SMU.Bahwa masing-masing pribadi adalah unik, fantastis, dan masing-masing dikondisikan untuk mengenal kehebatan dirinya, sehingga memiliki self dignitydan tabungan rasa sukses. Perasaan percaya diri dan self esteem ini sangat vital dalam sebuah proses pendidikan. Sebab jika yang punya diri saja tidak mengenal dan tidak menghargai dirinya, mana mungkin orang lain akan menghargainya. Bagi komunitas Golfer, tabungan rasa sukses ini juga sangat dirasakan. Ketika kita melakukan tee off di hole yang sulit dengan stroke kecil, jika sebelumnya pernah menaklukkan hole itu dengan membuat paar , maka kita akan percaya diri dan optimis untuk mengulangi sukses. Begitupun dalam kehidupan, akumulasi pengalaman sukses membuat seseorang lebih percaya diri dan menghargai proses perjuangan. Oleh karenanya dalam sebuah pendidikan sering dilakukan ulangan dan ujian, salah satu tujuannya untuk membangun mental pejuang dan pemenang. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, dibalik keluh kesah maraknya korupsi, pasti ada pengalaman sukses yang harus diapresiasi untuk modal melangkah ke depan.

Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sabtu, 09 Februari 2013


Cak Nur, Sumber Inspirasi Cendekiawan Muslim

NURCHOLISH MADJID, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul ‘Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984). Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.
”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar membuat anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya lengkap.” Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan Nurcholish Madjid dalam berbagai kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan dan mementingkan pendidikan. Cak Nur tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam kehidupan.
Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, ia muncul dengan jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan gagasan ini, menganggap Cak Nur mengembangkan sekularisme. Cak Nur dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman /ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, dan dalam hal ini Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi benar-benar imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.
Cara berpikir dan muatan pemikiran Cak Nur seperti itu terasa sangat kontroversial di telinga kebanyakan umat Islam. Karena dalam Alquran maupun hadis tak sedikit pun menjelaskan ihwal sekularisasi. Tak pelak, saat menggelar istilah tersebut pada 1970-an, Cak Nur mendapatkan banyak bantahan dari intelektual Indonesia, termasuk di antaranya adalah HM Rasidji dan Imaduddin Abdurrahim. Dari sinilah kita dibawa oleh Cak Nur ke pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba konfusi semantik danscientific dengan idenya yang ia klaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam.
Setiap upaya mengenang tokoh besar sekaliber Cak Nur hampir selalu diintip ancaman dua persoalan: menggelembungkannya menjadi begitu besar sehingga yang terpotret bukanlah sosok historis melainkan mitologis; atau memereteli dan memotretnya dari salah satu dimensi kecilnya sehingga sang tokoh terbonsaikan. Keduanya mengidap persoalan yang kurang-lebih serupa: kegagalan memahami sang tokoh dan memposisikannya dalam centang-perenang hidup kebangsaan kita.
Cak Nur mengampanyekan rumusan rekonsiliasi semacam itu sambil tetap mengingatkan betapa pentingnya “batas”. Masa lalu dan hari ini mesti dijaga oleh batas yang tegas. Jika tidak, kita sebagai bangsa akan dengan mudah terjerumus ke dalam lubang yang sama berkali-kali. Maka rumusan Cak Nur tentang masa lampau kurang-lebih adalah jangan pernah lupakan, maafkan, dan dirikan batas tegas.
Bagi sebagian orang, di tengah euforia reformasi masa itu, anjuran Cak Nur boleh jadi terasa lunak. Tapi setelah reformasi berjalan lebih dari tujuh tahun, terbukti bahwa rumusan itulah yang sejatinya paling layak untuk demokratisasi Indonesia dengan segala konteksnya. Sayangnya, tujuh tahun lebih kita alpa pada anjuran Cak Nur itu. Banyak kesempatan emas bagi rekonsiliasi akhirnya lenyap tertelan waktu.
Pembaruan Islam ala Cak Nur
Gerakan pembaruan Nurcholish Madjid mulai muncul di publik pada tahun 1970 dan 1972 dalam ceramahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”. Namun yang terkenal sebagai tokohnya adalah Cak Nur sebab beliau secara tidak langsung adalah Ketua Umum PB HMI yang berdomisili di Jakarta. Dalam tulisannya itu, Cak Nur mengkritik pola pikir tokoh Islam yang cenderung ingin membawa semua aspirasi umat Islam dalam politik dan mereka juga dengan seenaknya menyamakan Islam dengan politik Islam. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan jargon “Islam Yes, Partai Islam, No?” yang terkenal hingga sekarang ini. Cak Nur juga menganjurkan tentang perlunya liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam. Untuk melakukan itu, ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat bisa dijadikan alat bantu analisis. Pendirian negara Islam, menurut Cak Nur juga sebagai bentuk apologia politik yang cenderung oportunis guna menutupi kekurangan dan kelemahan umat Islam. Untuk mengatasi hal itu harus ditekankan semangat dan praktik untuk mengembangkan kebebasan berpikir dan ide-ide yang bersifat terbuka dan maju. Selain itu, kelompok pembaru yang “liberal” juga mesti segera difasilitasi kelahirannya dan dikembangkan di semua tempat.
Hal yang sangat ditentang kaum revivalis atau fundamentalisme Islam dari pembaharuan Cak Nur adalah tentang anjurannya untuk melakukan sekularisasi kehidupan keagamaan dan politik umat Islam. Menurut Cak Nur, sekularisasi bukan mesti westernisasi (Barat), tetapi sekularisasi adalah pemisahan nilai ajaran inti agama yang bersifat profan dan yang sakral. Sekularisasi adalah bentuk jalan keluar dari politisasi penafsiran agama sebagaimana dilakukan oleh ulama terdahulu.
Oleh karena itu, yang wajib digalakkan oleh umat Islam adalah nilai-nilai Islam yang bersifat substansial, jadi bukan sekadar simbolisme keagamaan. Masalah jilbab, partai Islam, negara Islam, pendidikan Islam yang banyak menekankan simbolisme, menurut Cak Nur mesti segera diakhiri. Cak Nur juga menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya tunggal milik Islam, tetapi juga milik agama-agama lain. Sebab pada dasarnya, semua agama mengajarkan jalan kebenaran untuk meraih keselamatan. Cak Nur juga menafsirkan secara liberal makna dari “Islam”, “agama”, “titik temu antaragama”, serta “Allah”. Hingga sekarang, Cak Nur tampak konsisten dengan teologi inklusif serta ide sekularisasinya.
Pembaruan Islam ala Cak Nur, secara historis muncul bersamaan dengan menguatnya modernisasi atau pembangunan. Oleh karena itu, banyak kritik yang menganggap bahwa gerakan itu sebagai bentuk rasionalisasi dan legitimasi teologis terhadap pembangunan tersebut. Menurut mereka yang kebanyakan menjadi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, pembaruan tahun 70-an juga sangat elitis dan tidak menyentuh problem utama umat Islam. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana mengubah paradigam keagamaan, jadi seakan-akan yang menyebabkan masyarakat miskin dan terbelakang hanya­lah persoalan ini.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam.
Sekularisasi Menurut Cak Nur
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No?” yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an , sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
“Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab ‘sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia tertutup yang baru yang berfungsi sangat mirip dengan agama.’ Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk ‘perkembangan yang membebaskan.’ Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu, mana yang transendental dan mana yang temporal”. (Nurcholish Madjid)
Di tengah kejumudan berpikir yang menimpa kalangan umat Islam, Dr. Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, dalam pidatonya pada 3 Januari 1970, menawarkan gagasan progresifnya: “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam Dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan ini tak pelak menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Bahkan ada yang menganggap ide Cak Nur itu tak lebih hanyalah sebagai bagian dari upaya penghancuran terhadap ajaran Islam yang sudah mapan.
Realitas kejumudan di mana masyarakat masih lebur dalam euforia romantisme masa lalu, yakni berkutat dengan nilai-nilai tradisional dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral, membuat Cak Nur semakin gelisah sehingga ia memberanikan diri menerobos dinding kejumudan yang sedemikian kokoh dipertahankan oleh umat Islam. Cak Nur menegaskan pentingnya proses pembebasan di mana masyarakat harus digiring kepada nilai-nilai yang berorientasi masa depan. Proses pembebasan ini, menurutnya, mengharuskan umat untuk mengadopsi sekulariasasi, keterbukaan dan lain sebagainya.
Tanpa adanya upaya progresif semacam itu, umat Islam tidak akan mampu meneropong masa depan yang gemilang. Upaya untuk mengembalikan masa kejayaannya sebagaimana pada beberapa abad sebelumnya hanya akan menjadi utopia belaka. Bagaimana mungkin peradaban akan dibangun jika pemikiran umat Islam tidak menunjukkan sinyal pencerahan yang progresif dan dinamis. Kemudian pada sisi yang lain umat menganggap ide pembaruan yang sangat universal itu sebagai ancaman yang harus ditolak. Sehingga tidak heran kalau kemudian muncul keyakinan ekslusif yang terkesan “dibuat-buat”: “Islam sudah tidak membutuhkan pembaruan karena Islam sudah sarat dengan pembaruan itu sendiri.”
Di sinilah letak kesalahan paradigma atau pola pikir yang sedang menghinggapi sebagian besar kalangan umat Islam hingga saat ini. Realitas kejumudan tidak disadari sebagai suatu fenomena yang membahayakan masa depan umat Islam sendiri, ibarat duri dalam daging: suatu saat pola pikir semacam itu akan menghambat kemajuan dalam konteks apa pun. Karena itu, gagasan yang diusung oleh Cak Nur pada dasarnya berangkat dari semangat Al- Qur’an sebagai way of life, dengan interpretasi yang lebih menyegarkan. Bukan ide baru yang tidak berpijak pada semangat qur’ani.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which funtion very much like a new religion. Demikianlah penegasan Cak Nur ketika mendapatkan banyak kritikan mengenai pembaruan pemikirannya tentang pentingnya sekularisasi.
Masih terngiang hingga saat ini suara-suara sumbang yang tidak sepaham dengan jalan pikiran Cak Nur. Sekularisasi dianggap sebagai suatu proses penerapan sekularisme. Padahal sekularisasi pada dasarnya berbeda pengertiannya dengan sekularisme. Meminjam bahasanya Robert N. Bellah, sekularisasi yang dimaksudkan adalah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun oleh banyak orang cenderung dianggap transenden dan disucikan.
Sedangkan sekularisme itu sendiri adalah paham keduniawian yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi. Paham tersebut mengatakan bahwa kehidupan duniawi adalah mutlak dan terakhir. Mereka tidak percaya adanya hari kemudian, di mana Islam seringkali menamakannya sebagai Hari Kebangkitan. Seorang sekularis menolak pemakaian prinsip ketuhanan dalam menyelesaikan masalah-masalah duniawi manusia. Mereka percaya sepenuhnya pada kekuatan rasio sebagai instrumen untuk menemukan kebenaran terakhir (ultimate truth). Dengan demikian, menurut pemahaman Cak Nur, bisa dikatakan bahwa seorang sekular yang konsekuen dan sempurna, adalah orang atheis. Sebaliknya, seorang sekular yang tidak konsekuen, akan mengalami kepribadian yang pecah (split personality).
Berangkat dari pemahaman di atas, maka tentu saja sekularisme bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab sekularisme membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama yang ada di muka bumi ini, apalagi dengan Islam. Bahkan Al-Qur’an sendiri menggambarkan orang-orang sekularis sebagai kelompok yang kafir, mengingkari Tuhan beserta ketetapan-ketetapannya: “Mereka ( orang-orang kafir itu) berkata: ‘Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa.’ Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. mereka hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24).
Demikianlah gambaran Al-Qur’an tentang orang-orang sekularis. Akan tetapi kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi adalah bagian dari upaya mewujudkan nilai-nilai sekularisme itu sendiri. Sebab sekularisasi dalam perspektif Cak Nur pada dasarnya adalah suatu proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian yang lebih besar daripada sebelumnya terhadap kehidupan duniawi ini. Karena bagaimana pun kita adalah makhluk sekular, makhluk yang masih hidup di dunia.
Harvei Cox – sebagaimana dikutip oleh Cak Nur – membedakan pengertian antara sekularisasi dan sekularisme: “Bagaimana pun, sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi, pada dasarnya, adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru.”
Dengan demikian, sudah jelas bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mendakwahkan tiadanya dzat yang bersifat transendental. Akan tetapi upaya menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.
Masalah sekularisasi dan sekularisme memang “hanya” persoalan istilah. Akan tetapi Cak Nur paham betul ihwal makna serta implikasi dari kedua istilah tersebut: sama perbedaannya antara rasionalis dan rasional; antara rasionalisasi dan rasionalisme. Karena itu, ia tidak mau disebut dirinya sebagai seorang sekularis yang berarti penganut sekularisme, atau rasionalis yang berarti pemuja rasionalisme atau kemutlakan rasio.
Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu memfungsikan potensi akal dalam menemukan kebenaran. Itu pun harus disadari, bahwa kebenaran yang ditangkap oleh rasio bersifat relatif atau terbatas. Keterbatasan rasio inilah yang dijelaskan oleh Allah dalam salah satu firmannya: “Tidaklah kamu (manusia) diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio) melainkan sedikit saja.”(Q.S. 17: 85).
Karena itu rasionalisme, sebagaimana juga sekularisme, harus kita tolak. Karena bagaimana pun rasionalisme mengingkari keberadaan wahyu (revelation) sebagai media untuk mengetahui kebenaran yang bersifat hakiki.
Tokoh berkelas
Menurut Dr. Yudi Latif (2006), upaya Cak Nur dalam mengarahkan umat kepada nilai-nilai esensial Islam pada satu sisi karena kemunculan Orde Baru yang telah meminggirkan politik Islam. Dan pada sisi yang lain, kebenciannya terhadap ideologi komunisme mendorong rezim militer mempromosikan pengajaran agama. Akibatnya, saat Islam politik mandul, ketertarikan orang-orang terhadap Islam justru kian meningkat. Atas dasar itu ia sampai pada kesimpulan: ‘Islam, yes; partai Islam, No!’.
Sebagai seorang intelektual atau cendikiawan muslim Cak Nur berkali-kali melakukan pembelaan ketika Islam hanya dijadikan sebagai sarana atau instrumen politik, di mana di dalamnya sarat dengan kepentingan kelompok. Apalagi ada kecenderungan di antara parpol-parpol berlabel Islam seakan-akan memonopoli kebenaran. Sehingga tidak heran kalau kemudian terjadi konflik horisontal antarpendukung parpol atas nama kebenaran. Padahal konflik itu terjadi tidak lain hanyalah karena menyangkut kepentingan yang sifatnya politis, bukan ideologis apalagi teologis.
Karena itulah Cak Nur seringkali mempertanyakan idealisme dari parpol-parpol Islam yang dinilainya sudah tidak punya “daya tarik” lagi. Kehilangan dinamika. Dan kalau ini tetap dipertahankan, niscaya umat akan mengalami kemunduran. Kenapa demikian? Karena partai-partai Islam, baik pada tahun 1970-an atau bahkan sampai reformasi tegak, gagal membangun image positif dan simpatik. Perpecahan atau disintegrasi di kalangan umat Islam sendiri, misalnya, adalah contoh konkrit di mana partai-partai Islam tidak mampu membangun semangat kesatuan dan persatuan. Ditambah lagi dengan kasus-kasus penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian besar wakil-wakil dari partai Islam di birokrasi pemerintahan yang sampai saat ini makin marak terjadi.
Inilah sebuah paradoks keberagamaan yang lahir dari idealisme utopis. Pada satu sisi umat diarahkan untuk bernaung di bawah payung partai Islam, dan pada sisi yang lain mereka lupa meniupkan nilai-nilai keislaman sebagai nafas perjuangan. Akibatnya, dari waktu ke waktu Islam di Indonesia hanya berkembang secara kuantitas seiring dengan banyaknya partai-partai Islam yang memosisikan diri sebagai “pengemban aspirasi” umat Islam.
Melalui tulisannya, Cak Nur tak jarang mengingatkan untuk tidak mengkultuskan seseorang. Semoga juga kekagumanku kepadanya tidak terjerumus kepada pengkultusan yang sering ia wanti-wanti untuk dihindari itu. Dan memang selayaknya kita menghargai Cak Nur karena nilai-nilai kemanusiaannya yang begitu tinggi. Cak Nur hanya manusia biasa, penghargaan kepadanya tak lebih karena ia telah memberikan kontribusi yang begitu besar kepada umat dan bangsa ini. Sumbangsih positif dari pemikirannya juga sudah sepatutnya untuk diapresiasi dengan baik. Terlepas dari itu, pemikirannya juga tak menutup kemungkinan untuk dikritisi. Dan aku yakin, begitu pulalah yang diinginkan oleh Cak Nur, bahwa generasi kini jangan hanya membeo kepada pemikiran yang telah ia lontarkan.
Cak Nur telah mengukir sejarahnya yang indah dan menawan di atas lontar kehidupan dengan tinta emas yang berkilauan. Generasi kini tentunya harus melakukan pencapaian-pencapaian yang lebih dari itu. Bukan hanya sekedar membeo, tapi melakukan apresiasi kreatif dan kritis terhadap khazanah intelektual yang telah dipersembahkannya. Sehingga dari apresiasi tersebut akan memunculkan inovasi terbaru yang lebih berarti untuk kehidupan umat dan bangsa ini di masa kini dan akan datang. Jika Cak Nur adalah pendaki yang telah mencapai puncaknya, maka kita tentunya tak ingin hanya menatap Cak Nur dari kejauhan sembari mengelu-elukan kebesarannya. Lebih tragis lagi jika Cak Nur kemudian diberhalakan, serta pemikirannya didewa-dewakan. Hingga kemudian generasi penerusnya tak lebih hanyalah menjadi generasi yang tenggelam dalam kejumudan.

sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/25/cak-nur-sumber-inspirasi-cendekiawan-muslim/ 



PROPOSAL PEMBUATAN ALAT SEDERHANA PRAKTIKUM FISIKA
“LUP DETEKTIF NGGAK MODAL”







Disusun oleh :
Devita Arini savitri
Diah Ayu pertiwi
Widya Mulyana Putri
Sarip Hidayat
1112016200072
1112016200042
1112016200052
1112016200047



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
A.    Latar belakang
Sering kita menemukan lampu bohlam mati atau putus kemudian menggantinya dengan yang baru, dan langsung membuangnya begitu saja  sehingga menjadi sampah. Oleh karena itu, kami terinspirasi untuk memanfaatkan limbah bohlam tersebut menjadi lup sederhana yang dapat digunakan untuk melihat benda yang kecil dengan  biaya yang minim.
B.     Prinsip alat

Prinsip kerja lup sederhana ini menggunakan prinsip kerja alat optik yaitu pembesaran dengan menggunakan sebuah lensa cembung atau lensa positif untuk memperbesar objek menjadi bayangan sehingga dapat dilihat dengan jelas
Bayangan yang dibentuk oleh lup bersifat maya, tegak, dan diperbesar. Untuk mendapatkan bayangan semacam ini objek harus berada di depan lensa dan terletak diantara titik pusat O dan titik fokus F lensa. untuk menghasilkan bayangan yang diinginkan, lup dapat digunakan dalam dua macam cara, yaitu dengan mata berakomodasi maksimum dan dengan mata tidak berakomodasi.
Lup dapat digunakan dengan mata berakomodasi maksimum untuk mendapatkan perbesaran bayangan yang diinginkan. Agar mata berakomodasi maksimum, bayangan yang terbentuk harus tepat berada di titik dekat mata (s’ = sn = jarak titik dekat mata).







Perbesaran bayangan yang dihasilkan oleh lup dengan mata berakomodasi maksimum adalah
Dimana P adalah perbesaran lup, sn adalah jarak titik dekat mata (sn = 25 cm untuk mata normal), dan f adalah jarak fokus lup.
Menggunakan lup dalam keadaan mata berakomodasi maksimum membuat mata menjadi cepat lelah. Agar mata relaks dan tidak cepat lelah, lup digunakan dalam keadaan mata tidak berakomodasi. Untuk mendapatkan perbesaran bayangan yang diinginkan dalam keadaan mata tidak berakomodasi, bayangan yang terbentuk harus berada sangat jauh di depan lensa (jarak tak hingga). dalam hal ini objek harus berada di titik fokus lensa (s = f).


Perbesaran bayangan yang dihasilkan oleh lup dengan mata tidak berakomodasi adalah
Dimana P adalah perbesaran lup, sn adalah jarak titik dekat mata (sn = 25 cm untuk mata normal), dan f adalah jarak fokus lup.

C.    Alat dan bahan

1.       lampu bekas/putus (bohlam yg warna kuning / bening yg bulat)









2.      air mineral yg bersih.










3. plastik secukupnya.








1.      karet gelang












D. langkah kerja

1. lubangi bohlam tersebut pada belakang nya dengan hati-hati,  jangan sampai copot pegangan besinya dan jangan sampai pecah bohlamnya.














2. bersihkan bagian dalam nya hingga tidak ada kaca yg tertinggal.

3. beri air secukupnya jangan terlalu penuh.


4. tutup menggunakan plastik dan rapat kan menggunakan karet gelang jangan sampai bocor( tumpah)













E.     Cara kerja alat

Cara kerja alat ini sama dengan  cara kerja alat lup . Sinar-sinar cahaya yang melewati lensa itu membelok ke dalam untuk mengumpul di sebuah titik focus pada kedua sisi lensa. Jarak dari pusat lensa ke titik fokus, kira-kira 12 cm pada kaca pembesar yang umum, disebut jarak fokus.
Dalam penggunaan lup seseorang harus menempatkan benda yang akan dilihat (antara lensa dan fokus lensa) sehingga akan dihasilkan bayangan yang diperbesar dan maya. Perbesaran yang dihasilkan oleh lup adalah perbesaran anguler atau perbesaran sudut.
1.       Menggunakan lup dalam keadaan mata berakomodasi maksimum
Mata berakomodasi maksimum yaitu cara memandang obyek pada titik dekatnya (otot siliar bekerja maksimum untuk menekan lensa agar berbentuk secembung-cembungnya).
Pada penggunaan lup dengan mata berakomodasi maksimum, maka yang perlu diperhatikan adalah:
1. bayangan yang dibentuk lup harus berada di titik dekat mata / Punctum Proksimum (PP)
2. benda yang diamati harus diletakkan di antara titik fokus dan lensa
3. kelemahan : mata cepat lelah
4. keuntungan : perbesaran bertambah (maksimum)
5. Sifat bayangan : maya, tegak, dan diperbesar

Mata Tak Berakomodasi
Mata tak berakomodasi yaitu cara memandang obyek pada titik jauhnya (yaitu otot siliar tidak bekerja/rileks dan lensa mata berbentuk sepipih-pipihnya).  Pada penggunaan lup dengan mata tak berakomodasi, maka yang perlu diperhatikan adalah:

1. maka lup harus membentuk bayangan di jauh tak hingga
2. benda yang dilihat harus diletakkan di titik fokus (So = f)
3. keuntungan : mata tak cepat lelah
5. Kerugian : perbesaran berkurang (minimum)
Dalam hal ini objek harus berada di titik fokus lensa (s= f ).

F.     Manfaat alat

Lup sederhana ini berfungsi untuk mengamati benda-benda kecil sehingga tampak menjadi besar dan lebih jelas yang tidak dapat dilihat dengan mata secara langsung dengan menggunakan sebuah lensa cembung atau lensa positif .

E.     Daftar pustaka

1.        http://tkj2mak.blogspot.com/2012/03/kaca-pembesar.html
2.        http://aktifisika.wordpress.com/category/optik/
3.        http://www.scribd.com/doc/54997097/Lup